Dijawab Oleh : Prof. Dr. M. Amin Suma, SH, MA, MM
Prof. Dr. M. Amin Suma, SH, MA, MM
(Dewan Syariah YBM PLN dan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN)
Pengantar
A’udzu billahi min-as-syaithanir-rajim, bismillahir-rahmanir-rahim, al-hamdulillahi rabbil-‘alamin. Wa-ba’du. Puji – syukur hanyalah milik Allah ‘Azza wa-Jalla, yang serba Maha Tahu dan Maha Penentu. Salawat dan salam, semoga terus dialirkan kepada nabi Muhammad saw, bintang para rasul dan penutup para nabi (khatam al-nabiyyin). Tentu juga untuk keluarga, sahabat dan umat pengikut-setianya ila yaum al-qiyamah. Dialah Nabi yang mengajarkan bahwa agama Islam dibangun dan dibina di atas landasan – pacu lima tiang-pancang agama Islam yang masyhur dengan sebutan arkan al-Islam (rukun agama Islam) yakni (1) mengikrarkan dua kalimah syahadat (2) penegakkan salat (3) pembayaran zakat (4) penyelenggaraan puasa/shaum, dan (5) naik haji ke Baitullah.
Kelima rukun Islam ini sejak disyariatkan dalam kurun waktu yang telah berabad-abad lamanya, masih tetap eksis dan berlaku sampai sekarang di se antero jagat raya yang dihuni oleh muslimin-muslimat. Termasuk untuk tidak mengatakan terutama di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagai negara beragama yang berdasarkan berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.[1] Meskipun pengamalan zakat di Indonesia sempat “terbengkalai” dalam kurun waktu yang cukup panjang, namun terhitung sejak tahun 1999 sampai sekarang dan in sya Allah untuk selanjutnya, pengelolaan zakat telah dan tengah mengalami penataan sedemikian rupa menuju ke arah yang lebih baik dan benar. Termasuk zakat profesi meskipun di sana-sini masih menyisakan sedikit pertanyaan tentang hukum kewajiban maupun pewajibannya.
Sesuai dengan judulnya di atas, tulisan singkat – mudah-mudahan tepat dan akurat – ini hendak mencoba kembali memaparkan ulang perihal “Zakat Profesi” ini dari sudut pandang yang agak lebih comprehensive. Terutama terkait dengan hukum zakat profesi dan pembenaran hukum pewajibkan zakat profesi yang berlaku dan diberlakukan dalam lingkungan Perusahaan Listrik Negara (PLN).
A. Spirit Zakat
Meskipun pengertian zakat telah terlalu umum dan sering kita fahami, namun untuk keperluan yang sedikit berbeda, terpaksa juga penulis kemukakan di sini, minimal dari perspektif harfiahnya. Secara harfiah-material, zakat artinya tumbuh, tambah, berkembang dan bergerak (al-ziyadah, al-nama’/al-numuww; growing); di samping secara lafzhiah maknawiah berarti: bersih (al-zaka, al-zakiyyah), suci (al-thaharah, al-ttathhir), berkah (al-barkah), baik/layak/patut (al-shalih), terpuji (al-madhu) dan jernih (al-shafwah).[2] Sementara dari pengertian zakat dalam perspektif syariah yang demikian banyak dan beragam, dapat disimpulkan bahwa zakat pada dasarnya adalah hak – kewajiban yang melekat pada harta-kekayaan yang telah ditentukan syariat.[3]
Sesuai dengan pengertian harfiah zakat maupun perspektif syar’iahnya, maka karakter zakat pada dasarnya adalah senantiasa dinamis dalam pengertian harus selalu tumbuh, tambah dan berkembang. Baik secara material maupun spiritual, bahkan juga dalam melakukan inovasi-inovasi produk maupun pengembangannya. Sebab, zakat pada dasarnya dan dalam kenyataannya hanya diwajibkan pada harta-harta halal dan yang bersifat produktif. Sebagaimana ditegaskan Yusuf Al-Qaradhawi, salah seorang ulama fikih dan begawan zakat bertaraf internasional (international class), di antara hal yang lazim diketahui umum ialah bahwa Islam tidak mewajibkan zakat dari setiap mal dalam jumlah sedikit maupun banyak. Menurutnya, zakat hanya dikenakan (dibebankan) kepada harta yang benar-benar telah mencapai nishab dan terbebas dari utang di samping telah terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok/dasar yang dimiliki (fi-ma balagha nishaban farighan min al-dayn wa-fadhilan ‘an al-hajat al-ashliyyah al-malikah).[4]
B. Macam-MacamZakat
1. Zakat Fitrah
Zakat fitrah, umum juga disebut dengan zakat badan dan zakat jiwa (zakat al-nafs). Kewajiban zakat fitrah adalah sekali dalam satu dan setiap tahun sehingga bisa juga disebut dengan zakat fitrah tahunan, tepatnya pada setiap penghujung bulan Ramadhan. Zakat fitrah pada dasarnya dalam bentuk makanan pokok – dalam koneks Indonesia umumnya beras -- sebanyak 2,5 – 3 kg beras; atau – menurut sebagian ulama -- bisa dikonversi dengan uang setara dengan harga 2,5 – 3 kg beras. Zakat fitrah diwajibkan pada setiap individu Muslim-Muslimah tanpa membedakan jenis kelamin, usia, status sosial dan pendapatan.
2. Zakat Maal
Yakni zakat yang diwajibkan atas harta-kekayaan tertentu, dalam jumlah tertentu (nishab), pada orang-orang tertentu (muzakki) dan dalam waktu-waktu tertentu pula dalam bilangan tahun (haul) atau ketika memanen (ya’uma hashadih) atau ketika menerima uang jasa yang penjabarannya demikian panjang lebar dan acap kali meluas serta mendalam sebagaimana kita jumpai dalam berbagai karya para ulama dan/atau ilmuwan sehingga penulis tidak kuasa untuk menguraikannya di dalam makalah singkat ini baik sebagian dan lebih-lebih secara keseluruhan. Namun demikian, in sya Allah bermanfaat manakala penulis kutibkan seperlunya teks undang-undang terkait dengan zakat mal ini dalam bagian bahasan tentang macam-macam zakat.
3. Zakat Profesi
Zakat profesi, lazim diistilahkan dengan sebutan zakat pendapatan (terutama di Negara Jiran – Malaysia), atau zakat penghasilan sebagaimana digunakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lai-lain yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara,,pegawai, atau karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya. Dalam literatur Arab, zakat profesi disebut dengan zakat al-amwal al-mustafad. Menurut Fatwa MUI, “Semua bentuk penghasilan halal wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mencapai nishab dalam satu tahun, yakni senilai emas 85 gram. Kadar nilai zakat penghasilan adalah 2,5 %.[5] Lebih jauh disebutkan dalam Fatwa MUI ini bahwa Zakat Penghasilan dapat dikeluarkan pada saat menerima jika sudah cukup nishab; dan jika tidak mencapai nishab, maka semua penghasilan dikumpulkan [dulu] selama satu tahun; kemudian zakat dikeluarkan jika penghasilan bersihnya sudah cukup [mencapai] nishab. Dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, disebutkan sebagai berikut:
Pasal 4
- Zakat meliputi zakat mal dan zakat fitrah
- Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
1. Emas, perak, dan logam mulia lainnya
2. Uang dan surat berharga lainnya
3. Perniagaan
4. Pertanian, perkebunan, dan kehutanan
5. Peternakan dan perikanan
6. Pertambangan
7. Perindustriuan
8. Pendapatan dan jasa dan
9. Rikaz
Sama halnya dengan kitab-kitab fikih (makro maupun mikro) yang umum atau kebanyakannya tidak menyebutkan apalagi menguraikannya dalam pemilahan macam-macam zakat, Undang-Undang Pengelolaan Zakat juga tidak secara tersurat menyebutkan macam atau jenis zakat yang ketiga ini (zakat profesi). Namun, secara tersirat untuk tidak menyebutkannya secara samar-samar, Undang-Undang Pengelolaan Zakat jelas merekomendasikan keberadaan zakat profesi. Pencatatan bentuk pendapatan dan jasa pada huruf h dalam Pasal 4 ayat (2) di atas, membuktikan hal ini.Bagaimanapun, pembahasanihwal zakat dalam Undang-Undang 23 ini rincian zakat mal sudah lebih luas dan luwes dalam memahami dan memetakan jenis-jenis zakat al-amwal sebagaimana termaktub dalam berbagai kitab/buku fikih khususnya fikih zakat mulai dari literatur klasik (kitab kuning) sampai buku putih (kontemporer) dan modern sekarang ini. Bahkan lebih berkembang lagi dibandingkan dengan hal yang sama (zakat mal) dalam undang-undang Pengelolaan Zakat sebelumnya, yakni Undang-Undang nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
C. Dalil Hukum Pewajiban Zakat Profesi
Terkait dengan fatwa yang mewajibkan zakat profesi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendasarkan argumentasi syar’i (adillah al-ahkam)-nya adalah Al-Qur’an dan Al-Hadis di samping memerhatikan pendapat para ulama (aqwal al-‘ulama’). Namun, berhubung keterbatasan waktu dan halaman, serta di luar tujuan dari pengadaan mudzkarah terbatas – internal ini sendiri, maka tulisan hanya akan membahas ayat Al-Qur’an yang dijadikan rujukan (dalil) bagi pewajiban zakat profesi ini sendiri. Ayat-ayat yang dimaksudkan terutama ialah surah al-Baqarah (2): 267 dan 219, serta surah al-Taubah (9): 103. Inipun hanya dikutibkan terjemahannya yaitu:
Hai orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari (dalam perut) bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan (sebagian) daripadanya, padahal kamu sendiri tidak akan mau mengambilnya kecuali (terpaksa) dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah itu Maha Kaya lagi Maha Terpuji (al-Baqarah (2): 267)
Yang menjadi kata kunci dalam ayat di atas terkait dengan pewajiban zakat profesi ialah kata-kata “min thayyibati ma-kasabtum” = yakni pengeluaran zakat dari (hasil) usaha kamu (orang-orang beriman) yang baik-baik
Beralih kepada surah al-Baqarah ayat 219, terjemahannya adalah sebagai berikut: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu, supaya kamu berfikir.
Kosa kata yang paling relevan dengan pembahasan zakat profesi dalam ayat ini ialah kata “qul al-‘afwa” yang berarti kelebihan dari keperluan yang benar-benar dibutuhklan.
Berikutnya adalah surah al-Taubah (9) ayat 103, yang terjemahannya adalah: “Ambillah oleh-mu (Muhammad) sedekah (zakat) dari sebagian harta mereka; (sebab) dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah kamu (Muhammad) untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (akan menjadi) ketenteraman (jiwa) bagi mereka, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Kosa kata yang berhubungan langsung dengan pewajiban zakat profesi di sini ialah kata “min amwalihim” = dari harta-harta mereka. Dalam Al-Qur’an kita jumpai penggunaan kata harta dalam bentuk tunggal yakni mal/al-mal, maupun kata jamak yakni amwal/al-amwal. Ayat yang menggunakan kata “al-amwal/amwal” jumlahnya justru lebih banyak yakni 60-an (63) kali dalam 24 surah dan 60-an ayat; daripada yang menggunakan kata “mal/al-mal” yang cuma 20-an (24) kali dalam 20 surah dan 20-an ayat. Maknanya, penggunaan kata mal/al-mal hanya berkisar antara 33 – 35 %, dibandingkan dengan penggunaan kata amwal/al-amwal yang mencapai 65-67 % . Dalam ayat-ayat yang terkait dengan konteks pewajiban zakat, Al-Qur’an justru lebih banyak menggunakan kata “amwal” dibandingkan dengan penggunaan kata “mal/al-mal” yang pada umumnya digunakan dalam teks maupun konteks non zakat. Ini menunjukkan bahwa penggunaan kata amwal yang besrifat umum ini pada dasarnya menjangkau semua/seluruh atau minimal sebagaian besar harta yang dimiliki seseorang.[6]
Di antara hal yang menarik ialah bahwa lepas dari masih ada pendapat yang tidak mewajibkan atau tepatnya tidak mengakui keberadaan zakat profesi yang menyebabkan sebagian orang ada yang keberatan dengan zakat profesi, yang jelas di sejumlah negara Islam/berpenduduk Muslim termasuk Indonesia telah cukup lama memeraktekkan zakat profesi ini. Termasuk untuk tidak mengatakan terutama dalam lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sejak beberapa tahun silam melalui Lembaga Amil Zakat yang dibentuknya, telah melalakukan pemotongan zakat atas gaji para pegawai/karyawannya yang beragama Islam. Termasuk dalam lingkungan PLN yang lebih-kurang sejak sekitar tahun 2006 (10-11 tahunan) yang lalu telah pula mengenakan pewajiban zakat – jika perlu -- terhadap seluruh karyawan-karyawatinya yang beragama Islam mulai dari pimpinan teras hingga karyawan-karyawati yang gaji dan/atau penghasilannya telah mencapai nishab.
Tanpa ada maksud mengabaikan apalagi menafikan pendapat yang sampai sekarang belum/tidak membenarkan keberadaan zakat profesi dengan beberapa atau sejumlah argumentasi hukum (adillah al-ahkam) tentunya -- antara lain terutama karena tidak ada nash sharih yang spesifik mewajibkan zakat profesi --, yang jelas ulil amri – dalam konteks ini pimpinan PLN – telah mengambil kebijakan untuk memegangi pendapat yang mewajibkan zakat profesi sebagai pendapat yang berlaku dan diberlakukan dalam lingkungan Perusahaan Listrik Negara. Menariknya, keberlakuan dan/atau pemberlakuan zakat profesi ini tidak hanya oleh PLN, akan tetapi juga oleh pimpinan BUMN-BUMN yang lain. Malahan, dalam lingkungan Bank Negara Indonesia (BNI), pemberlakuan zakat profesi sudah dimulai sejak tahun 1967, jauh sebelum pengundangaan dan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 yang kemudian diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaaan zakat.
Lagi, tanpa ada maksud apalagi niat untuk tidak menghormati pendapat yang belum/tidak menerima zakat profesi yang di Indonesia umumnya dikemukakan oleh orang-perorang (perseorangan), keputusan Pimpinan PLN memberlakukan zakat profesi, ini setidak-tidaknya sesuai dengan Ketetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 3 tahun 2003 tentang Zakat Penghasilan sebagaimana telah disinggung di atas. Sebagai wadah berhimpunnya para ulama, zuama dan cendekiawan Muslim Indonesia, Majelis Ulama Indonesia telah merepresentasikan sebagian besar kalau belum tepat dikatakan mewakili seluruh kelompok sosial keagamaan yang ada di Indonesia. Bahkan personal sekalipun dengan bergabungnya sejumlah ulama, zuama dan ilmuwan dari berbagai kalangan: mulai dari kalangan ulama pondok pesantren dengan berbagai sebutan/gelar/panggilan khasnya masing-masing hingga para doctor dan guru besar perguruan tinggi. Bahkan juga para professional praktisi yang hari-harinya bergerak dalam bidang yang mereka tekuni. Meskipun argumentasi ini boleh jadi tidak ada kaitan langsung dengan pendalilan wajib zakat profesi, namun secara tidak langsung in sya Allah turut menguatkan pewajiban hukum zakat profesi ini karena didasarkan atas pendapat mayoritas alim-ulama (jumhur al-‘ulama) Indonesia yang berhimpun di dalam wadah Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Terlalu banyak untuk disebutkan apalagi diuraikan panjang lebar kaidah-kaidah fikhiah maupun usuliah yang menempatkan posisi jumhur dipandang atau sekurang-kurangnya dianggap lebih tinggi daripada pendapat perseorangan. Apalagi manakala pendapat mayoritas (jumhur) itu di dalamnya ada pengakuan dari ulil amri (pemegang otoritas). Benar Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat tidak menyertakan keberadaan zakat profesi sebagaimana zakat fitrah dan zakat mal, namun permintaan fatwa yang diajukan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) kepada Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang antara lain melahirkan Fatwa MUI yang disebutkan sebelum ini, menunjukkan pengakuan pemerintah akan keberadaan zakat profesi. Pemahaman ini semakin dikuatkukuhkan dengan kehadiran Peraturan Menteri Agama RI nomor 52 tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif yang kemudian diperbarui dengan Peraturan Menteri Agama RI nomor 52 tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif. Dalam Peraturan ini disebutkan bahwa:
1. Nisab zakat pendapatan senilai 653 kg gabah atau 524 kg beras;
2. Kadar zakat pendapatan dan jasa senilai 2,5 %.[7]
D. Penutup
Dari uraian dan pembahasan singkat di atas, mudah-mudahan tetap padat dan akurat, dapatlah disimpulkan bahwa zakat profesi hukumnya wajib. Bahwa hukum kewajiban zakat profesi masih belum bertaraf muttafaqun ‘alaih karena masih ada sedikit pendapat yang berbeda sehingga dikategorikan ke dalam masalah fikih yang diperdebatkan (mukhtalaf fih); namun mayoritas ulama Indonesia telah memfatwakan zakat profesi hukumnya wajib. Pewajiban zakat profesi ini secara langsung maupun tidak langsung telah diakui dan diterima oleh ulil amri (pemerintah) dan umumnya ummatan muslimatan, serta telah pula dipraktekkan dalam masyarakat luas khususnya dalam lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam teks dan konteks tulisan ini Perusahaan Listrik Negara melalui Peraturan Direksi.
Demikian tulisan singkat ini penulis sajikan, tentu dengan kekurangan dan keterbatasannya. Sungguhpun demikian, semoga tulisan ini tetap membeikan manfaat dan maslahat bagi muzaki dalam lingkungan PLN khususnya dan bagi semua muzakki yang lain-lain (non PLN) di seluruh Tanah Air Indonesia pada umumnya. Amin, amin, amin, ya Mujib al-sa’ilin. Wal-hamdu lillahi rabbil-‘alamin
[1]UUD NRI 1945, Pasal 29 ayat (1).
[2]Lihat beberapa kamus dan/atau buku-buku lainnya.
[3]Bandingkan dengan Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>mi wa-Adillatuh, juz 2, hlm. 730 -731.
[4]Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh al-Zaka>h, juz 1, hlm. 351.
[5]Fatwa MUI, No. 3 Tahun 2003 Tentang Zakat Penghasilan.
[6]Mahmud Syaltut, al-Isla>m ‘Aqi>dah wa-Syari>’ah, 1966, hlm. 102.
[7]Permenag RI Nomor 52 tahun 2014 Pasal 8 ayat (1) dan (2).