image description

Bayar Zakat Melahirkan Ketenangan dan Kesejahteraan Hidup



Berdasarkan penelitian BAZNAS dengan FEM IPB, 2011, potensi zakat di Indonesia sangat besar, yaitu sekitar Rp 217 triliun. Sayang, itu belum bisa dioptimalkan. Padahal beberapa negara sudah menggunakan zakat untuk menyejahterakan masyarakat. Pada masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat, zakat terbukti telah meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Zakat merupakan Rukun Islam ketiga, jika dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan maka akan meningkatkan keimanan dan keislaman,” ujar KH. Didin Hafidhuddin, Guru Besar IPB yang juga Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, saat memberikan materi dalam acara Pembekalan Ketua Amil LAZIS PLN Unit Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua, di PLN Udiklat Bogor Cibogo, Jumat, 15 April 2016.

Menurutnya, ada lima langkah dalam menggali potensi zakat, yaitu sosialisasi, penguatan amil, pendayagunaan tepat sasaran, penguatan regulasi dan peraturan, serta sinergi atau koordinasi.

Dalam sosialisasi, katanya, salah satunya disampaikan tentang hikmah dan tujuan zakat. Di antaranya zakat, infaq, dan shodaqoh bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan para mustahik, terutama fakir miskin, termasuk di dalamnya membantu di bidang pendidikan, kesehatan, dan kegiatan ekonomi.

Selain itu, zakat, infaq, dan shodaqoh terkait dengan kecerdasan intelektual, emosional, spiritual dan sosial. Artinya, kesediaan ber-ZIS ini akan mencerdaskan untuk mencintai sesamanya, terutama kaum dhu’afa. “Zakat, infaq, dan shodaqoh akan melahirkan ketenangan, kebahagiaan, keamanan, dan kesejahteraan hidup,” tandasnya.

Ia menegaskan, zakat, infaq, dan shodaqoh juga sangat berguna dalam mengatasi berbagai macam musibah yang terjadi, seperti di Aceh, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan juga musibah lainnya yang pernah terjadi, baik secara lokal, nasional maupun internasional seperti di Gaza Palestina. “Hal-hal tersebut tidak mungkin bisa diaplikasikan, kecuali melalui amil zakat yang amanah, transparan, dan bertanggung jawab,” sebutnya.

Menurutnya, jika zakat diserahkan langsung dari muzakki kepada mustahik, meskipun secara hukum syari'ah adalah sah, akan tetapi hikmah dan fungsi zakat, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan umat, akan sulit diwujudkan.

Ada beberapa keunggulan jika zakat dikelola oleh Amil zakat yang amanah, kuat, bertanggungjawab, transparan dan professional, yaitu lebih sesuai dengan tuntunan syariah (al-Qur’an) dan sirah nabawiyyah maupun sirah para sahabat dan tabi’in, untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat, untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki, untuk mencapai efisiensi dan efektivitas serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat, untuk memperlihatkan syi’ar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang Islami, sesuai dengan prinsip modern dalam indirect financial system.

Terkait amil zakat, Yusuf al-Qaradhawi menyebutkan syarat-syaratnya, yaitu beragama Islam, mukallaf atau orang dewasa yang sehat akal pikirannya yang siap menerima tanggung jawab mengurus urusan umat, memiliki sifat amanah atau jujur, mengerti dan memahami hukum-hukum zakat, memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, dan amil zakat harus full-time dalam melaksanakan tugasnya, tidak asal-asalan dan tidak pula sambilan.

Sedangkan menurut Keputusan Menteri Agama RI, amil zakat harus berbadan hukum, memiliki data muzakki dan mustahik, memiliki program kerja yang jelas, memiliki pembukuan yang baik, dan, melampirkan surat pernyataan bersedia diaudit.

“Persyaratan tersebut tentu mengarah pada profesionalitas dan transparansi dari setiap lembaga pengelola zakat. Dengan demikian, diharapkan masyarakat akan semakin bergairah dalam menyalurkan zakatnya melalui lembaga pengelola zakat,” tutur Kiai Didin. ***

Share:
    blog comments powered by Disqus
loader